Halaman

Kamis, 12 September 2013

Nurul itu cahaya (Part I)

"Berhenti memandangku aneh" suaraku nyaris terdengar hingga seluruh kafe ini.

Apa yang sebenarnya mereka lihat dariku? Aku sama seperti mereka. Aku adalah seorang manusia. Batinku marah.

Aku bergegas meninggalkan kafe itu dengan uraian air mata. Aku tahu harusnya aku bersikap biasa saja dengan pandangan orang-orang itu kepadaku.
Bukannya aku sudah sering dilihat dengan cara seperti itu. Tapi tak tahulah apa yang terjadi hari ini, ini sangat membuatku sakit sekali.

 =000=

"Pa, Ira mau tinggal di jogja saja" ujarku tiba-tiba
Sontak papa tersedak kaget mendengar ucapan putri ke-3nya.
"Ira mau mandiri pa, bukankah papa menginginkan Ira menjadi seorang yang mandiri, dan layak seperti wanita-wanita normal seumur Ira"
Seketika itu air mata dalam bendungan mataku bobol. Banjir bandang air mata yang tak tertahankan itu membasahi pelupuk mataku. Papa memeluk erat. Aku lebih siap berbicara langsung dengan papa daripada dengan mama. Biarkan papa yang menjelaskan hal ini nantinya ke mama.
aku memandang nanar langit-langit kamarku yang bernuansa Pink ini, wangi khas kamar seorang gadis berusia 18tahun terasa di seantaro kamarku.
Yah aku akan mulai mandiri, meninggalkan kamar ini. Memeluk erat boneka pemberian papa dan mama, disaat usiaku 17Tahun.
"Aku akan merindukan kamar ini"

=000=

Kalian tahu? Aku bukan seperti gadis seumuranku. Tapi aku tetap manusia. Tolong ingat dulu hal itu sebelum kalian melihatku lebih aneh. Aku cacat sejak lahir, kakiku kecil tapi ini bukan disebut kredil. Ini ada kesalahan pada tulang kakiku saat proses kelahiran. Apa ini bisa disebut sebagai malpraktik? Ah entahlah, ini sudah takdir. Itulah yang selalu coba aku pikirkan. Menetralisir semua kejadian yang selalu terjadi denganku.
Mungkin sebagian orang bisa saja tertipu dengan wajahku yang dikatagorikan cantik. Banyak yang tertipu dengan wajahku, dan menyesal setelah mengetahui kondisi fisikku. Inilah nyata. Ternyata sebagian orang masih saja melihat dari penampilannya. Yah They judge by the cover. No problem. Bagiku itu sudah hal biasa. Semua sudah takdir. Cantik itu kelebihanku, dan cacat bagian dari kekuranganku. Yang pasti aku berterimakasih pada Tuhanku sudah mengizinkan aku hidup dan menginjakkan kakiku di duniaNya.

=000=
Isak tangisan mama terdengar menderu dari kamarku. Aku tahu ada sisi tidak rela mama membiarkan aku tinggal di daerah orang. Sendiri. Dan dengan kondisiku seperti itu.

"Ra, kamu yakin akan ke Jogja, kuliah disana dan menetap disana?"
Kakakku masuk dengan sejuta pertanyaan dan sejuta rasa ingin menahanku pergi dari rumah.
"Iya kak" aku menjawab singkat. Ini adalah jawaban singkat dariku. Karena jika aku menjawab panjang airmataku pun akan tercurah deras lagi.
Tapi aku harus kuat. Yah kuat demi semua pembuktian terhadap orang-oramg disini.
Orang yang menganggapku aneh. Manganggapku sebagai kutukan ataupun sampah. Karena mereka melihat kondisiku. Bahkan kadang aku tak sengaja mendengar mereka mengunjingku dan keluarga, terutama papa mama yang menyatakan mereka kena kutukan.
"Kak, jagain mama papa ya kak" aku memeluk kakakku ini, Kak Ray.

Kak Ray memelukku erat. Aku akan kehilangan kak Ray dalam waktu yang lama. Walaupun aku tahu dia bisa saja datang sewaktu-waktu ke jogja. Tapi ini kali pertama aku pergi jauh dari keluargaku.

=000=
Selamat datang di Bandar Udara Mahmud Badarudin II. Tulisan yang tertera jelas menuju perjalananku meninggalkan kota kelahiranku. Papa mengendongku keluar dari mobil. Beberapa pasang mata memandangin kami.
"Pa, maafkan Ira membuat papa menjadi sebuah pusat perhatian" bisikku ditelinga papa.
Ratih sahabatku juga akan berangkat bersama telah menunggu di depan loket penukaran tiket.
"Om" Ratih bersalaman dengan papa.
"Bagasi ira dijadolam satu saja om"
Aku melihat sahabatku ini memindahkan barang-barangku dengan cekatan bersama Kakak Ray. Tak peduli banyak orang telah memperhatikan kami. Tapi lebih tepatnya memperhatikan aku.

"Tak usah sedih, papa yang pasang badan buatmu nak" papa menatap tajam setiap orang yang tertangkap menatap kami dengan aneh.

"Ra, jaga diri yah di jogja" papa mencium keningku.
"Iya pa" aku menahan sejuta airmataku yang siap membanjiri mataku. Ratih langsung mendorongku dengan kursi roda menuju check in door. Dan langsung menuju ruang tunggu keberangkatan.

Handphoneku berdering.
Wahyu. Batinku. Ada apakah gerangan dengannya? Aku ragu mengangkat telponnya. Wahyu, laki-laki yang aku cintai setahun yang lalu, harus rela aku lepaskan karena ketidaksetujuan orangtuanya dengan kondisi fisikku.

Kutekan tanda Hold.
"Ra... Ra ... Kamu serius kuliah di jogja? Kamu tega ninggalin aku" suara kekecewaan terdengar jelas dari suara wahyu.
"Iya. Maaf"
Itulah kata-kata singkat yang aku ucapkan kepada wahyu.
Aku dengan cepat menekan tanda end call di Handphoneku.
Ratih mengerti apa yang terjadi denganku saat ini.
"Ra kamu akan baik-baik saja, percayalah." Ratih memberikan aku tissue karena dia tahu air mata ini sudah tak terbendung lagi.
"Ra, percayalah, kamu bisa"
Pelukan hangat itu mendarat mulus ditubuhku. Ratih tahu apa yang aku butuhkan saat ini.

=000=

Tak terasa perjalanan tahun pertamaku di yogyakarta berjalan dengan baik. Aku sudah terbiasa dengan tatapan orang-orang. Mereka menganggapku sama dengan gadis-gadis normal pada umumnya. Dulu aku tak pernah berani untuk berjalan-jalan di mall. Kini aku lakukan semua bersama teman-temanku. Aku menikmati semuanya, hingga aku mengenal seseorang yang jauh menyentuh hatiku.

"Kenalin temenku" Risa memperkenalkan seorang laki-laki di hadapanku
"Amir" laki-laki itu memperkenalkan dirinya dengan berjabat tangan.
"Ira"
"Senang berkenalan denganmu" ujarnya sambil terem.
Aku hanya menanggapinya datar.
Tapi bagiku, Amir adalah orang yang pertama sebagai pacarku yang berani pasang badan untukku. Ia menjadi kakiku disaat aku lelah berjalan. Ia menjadi tanganku disaat aku tak bisa menjangkau benda-benda di kamarku yang terlalu tinggi.
Bagiku dia pendampingku selama aku jauh dengan papa mama.
"Ayo nonton di bioskop" ajaknya setelah gajian.
"Nonton di bioskop?" Nada tak percayaku terdengar jelas.
Amir hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Apa kamu gak malu, mengajak aku ke sana?"
Amir hanya menggeleng pelan.
"Kalau ada yang menatapmu aneh, tar aku pelototin"
Gaya amir menjagaku adalah yang sangat aku sukai.
Amir mengajarkanku tentang kerja keras, maklum ia harus kerja keras untuk membiayai kuliahnya.
Aku juga diajarkannya jahit menjahit, jadilah aku suka dengan hal yang berkaitan dengan kerajinan tangan.

"Jadi bagaimana? Mau nonton gak?"
Pertanyaan terakhir amir
Aku mengangguk sambil tersenyum girang.


 to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar