Halaman

Selasa, 31 Desember 2013

De Javu



Jpret!!!

Gadis berjilbab merah berdiri tersenyum lembut. Natural. Duduk menanti di depan pintu benteng ternama di Jogja.
Romeo melihatnya. De javu.
Dia? Siapa dia?


***

Tahun baru di tahun 2013 telah membawanya kembali ke Yogyakarta. Kota dimana ia dilahirkan tanpa hari banyak merasakan kultur budaya disini. Romeo memandang langit gelap bertabur kilauan kembang api yang menyemarakan langit. Keramaian suara terompet tak mengusiknya. Lalu apa yang membawanya kembali ke sini. Tanpa tempat tujuan yang jelas. Tanpa tahu sanak keluarga disini. Ah Jogja.

Dan Romeo memastikan mendapatkan moment yang paling berkesan disini. Yogyakarta. Kota istimewa dengan sejuta pesona adat dan tata krama jawi.  Menawan hati untuk selalu hadir disini.

Romeo kembali menjelajahi hasil jepretannya. Memastikan semua momen yang diabadikannya sesuai dengan kemauannya. Nice!!!

Romeo tersenyum sumringah melihat hasil jepretannya. Kali ini usahanya untuk berada di Yogyakarta berjalan dengan mulus. Ransel berukuran sedang khas backpacker tersandang apik di pundaknya. Selain itu tas selempang bernuansa gelap sudah bertengger menyimpan beberapa lensa andalannya. Kamera canon 60D hasil jerih payahnya selama bekerja di AIR photography sudah mengantung manis di lehernya. Berbekal lensa ukuran 18-200 mm, Romeo hanya ingin mengejar momen kegembiraan tahun baru ini.

“Permisi, bisa minta fotokan kami”

Seorang gadis menyapa Romeo meminta bantuan, lalu menyodorkan sebuah kamera pocket berwarna pink –feminism sekali batinnya- kepada Romeo. Ia sedikit memberikan aba-aba untuk sekelompok gadis ini untuk berekspresi. Mereka berteriak gembira dalam momen itu – tepat saat sebuah kilatan kembang api yang merekah di atas kepala mereka. Romeo memberikan aba-aba untuk foto kedua ini, kali ini Ia dengan sengaja menggunakan kameranya. Memberikan aba-aba kepada mereka untuk melompat dengan ekspresi yang gembira.

Jpret!!!

I got it – batin Romeo.

“Terima kasih, mas. Sudah senang hati memotret kami”
 
“Iya sama-sama” Ujar Romeo sambil tersenyum.

“Sendirian saja mas?” Ujar gadis itu lagi

“Iya, sendirian. Dan sangat bingung”

Sedetik kemudian Romeo sudah tampak akrab dengan sekelompok gadis yang tadi memintanya memotret. Romeo berkenalan dengan mereka. Dan satu hal yang paling romeo ingat. Maharani. Yah Maharani. Romeo seperti pernah melihatnya. Mengenalnya. Gadis pendiam dengan kerudung merahnya itu, membuat hati Romeo tiba-tiba mencelos begitu aja. Getaran yang bahkan belum pernah sekalipun Romeo rasakan selama 22 tahun ini.

Maharani mencuri separuh hatinya disini. Di Yogyakarta.

Akhirnya mereka- romeo dan 5 gadis sebayanya- sepakat untuk berjalan bersama menuju alun-alun utara. Mencari suasana tahun baru yang lain ujar Ami yang mulai modus untuk minta difotoi. Entah mengapa Romeo tak keberatan untuk mengabadikan semua kegiatan para gadis malam ini.

****

“Raaaniiii….” Jerit Meka

Rani menoleh dengan lembut ke arah Meka. Wajah meka merah, seperti udang rebus dan penuh dengan peluh.

“Sudah diputuskan malam Tahun Baru kita akan pergi bersama, sudah izin ayahmu?”

Rani hanya diam. Ia belum izin ayahnya. Keyakinannya hanya satu. DITOLAK. Ayahnya sangat tak menyukai Rani mengikuti acara-acara seperti ini. Lebih baik pergi ke pengajian daripada hura-hura seperti itu. Itulah yang selalu dikatakan ayahnya.

Semua teman Rani tahu bahwa ayah Rani kolot. Tak mengenal budaya seperti ini. Tapi Rani tahu dibalik semua itu ayahnya punya alasan yang jelas. Tapi Rani tak pernah sekalipun membantah semua keputusan ayahnya. Bagi Rani, ayahnya sangat berarti, karena semenjak Bunda meninggal dua tahun lalu Rani hanya tinggal berdua ayahnya, dan itulah mengapa Rani sangat mematuhi semua perintah ayahnya.

Jika ayahnya bilang “TIDAK” maka Rani tidak akan melakukannya. Tapi menurtu teman-temannya adakalanya Rani harus memberanikan diri untuk membantah ayahnya sesekali. 

Dilema.

Rani mengetuk-ngetuk meja yang ada dihadapannya dengan pensil mekaniknya.

“hmmm” Rani berdeham panjang

Wajah Meka sedang menatap Rani dengan seksama.

“Akan aku kabari nanti malam ya”

Akhirnya Rani memutuskan untuk menunda menjawab ajakan teman-temannya.

****

“Gue akan pergi selama seminggu boss”
Romeo duduk didepan bossnya yang sedang membersihkan kamera kesayangannya.

“Mau kemana lu? Sendirian?”

Sekali anggukan kecil tanpa menjelaskan mau kemana dia pergi, Romeo beranjak mendekati bossnya.

“gue mau berpetualang boss”

Seperti biasa, sang boss sudah tahu jelas watak bawahannya satu ini. Tanpa perlu menanyakan lebih. Sang bos menganggukan kepalanya,dan tersenyum.

“Semoga acara tahun baru lu menyenangkan,Rom”

Romeo menyeringai sumringah atas izin dari bossnya ini. Dan kemudian meninggalkan ruangan kecil sang boss dengan semangat.

 ****

Rani mengetuk-ngetuk pena di atas meja belajarnya. Tahun baru ini, entah mengapa ada keinginan besar dalam dirinya untuk ikut menikmati tahun baru ini tapi ada ketakutan besar atas penolakan sang ayah.
 
Tok…tokk…tokk…

Pintu kamar Rani diketuk. Ia sudah bisa menebak bahwa yang mengetuk pintu itu adalah ayahnya.

“Rani” wajah ayahnya yang sumringah menyembul dibalik pintunya “ sedang apa nak?”

“A-ayah…” tergagap Rani menyahut panggilan ayahnya.

Senyuman hangat sang ayah menghilangkan ketakutannya sejenak.

Sepertinya ayah dalam keadaan yang baik dan menyenangkan.

“ada yang sedang menganggu pikiranmu, nak?”

“hmmm”

Ayah mengelus perlahan kepalanya lembut.

“yah, Rani mau minta izin boleh?”

“boleh, Rani mau kemana?”

Hening. Rani dilemma. Ketakutannya lebih besar dari keinginannya.

“Rani” Ayah menyentuh kepala Rani lembut.

Rani tergelak menatap ayahnya. Ayahnya masih dalam keadaan tenang dan tersenyum hangat.

“Rani mau izin pergi di malam tahun baru besok malam, yah” ujar Rani takut-takut.

Ayahnya diam.

“Tapi kalau Rani tidak diizinkan Rani tidak akan pergi yah” Rani langsung meralat keinginannya untuk pergi.

Ayah Rani mengelus kepala Rani, Kerutan di kening ayahnya memberikan symbol sesuatu yang membuat Rani tak bisa menebak apapun. Rani sudah lebih dahulu pasrah dengan semua keputusan ayahnya.

*********

“Yes!!! Tugas terakhir gue di akhir tahun ini”

Romeo terlihat sangat bersemangat melakukan project terakhirnya hari ini. Padahal sebelumnya Romeo paling malas sekali dalam project ini. Karena ia sangat benci dengan anak-anak.

Jerry menangkap kebahagian di wajah Romeo hari ini.

“tumben lu bahagia banget hari ini, biasanya kalau dapet kayak gitu elu mengerutu sepanjangan” ujar Jerry menelisik

Romeo mengedipkan matanya “ Loyalitas dalam bekerja bro”

Jerry melongo tak percaya mendengar perkataaan Romeo. Entahlah mungkin ada setan kesiangan yang hinggap di badan Romeo. Tapi Jerry bersyukur karena pekerjaan hari lebih menyenangkan tanpa mendengar gerutuan Romeo seperti biasa.

****

Jam setengah tujuh malam. Ransel, sepatu hitam converse lusuh, Jaket hitam, tas kamera. Hap! Semua sudah lengkap. Romeo sudah duduk di stasiun senen, menanti kereta yang akan membawanya sedikit rileks dari pekerjaaannya. Sebenarnya dia tidak jemu memotret tapi dia hanya butuh udara segar dalam memotret.

Dan sebuah mimpi membawanya dalam cerita yang baru.

***
Rani tak menyangka atas jawaban Ayah. Wajahnya sumringah dan langsung mengabari meka.
Assalammualaikum.
Meka, Insyaallah saya ikut acara tahun baruan besok malam.
Waalaikumsalam. ^.^    

Raut wajah Rani merona bahagia. Saking bahagianya atas izin ayah, Rani bisa tidur dengan pulas. Dan sebuah mimpi membawanya dalam cerita yang belum pernah ia rasakan.

****

Brak……

“ma- maaf, ma- maafkan saya”

Seseorang gadis berjilbab tidak sengaja menjenggol lensa kamera yang ada di tangan Romeo. Romeo hanya terdiam menatap lensa kamera yang meloncat tanpa bisa dikendalikan dari tangannya. Ia tak bergeming. Berkecamuk rasa di hatinya, di kepalanya ia ingin sekali meninju orang yang tidak sengaja menjenggolnya. Tapi.

“ma- maafkan saya, mas” 

Gadis itu tertunduk merasa bersalah. Wajahnya yang mungil menuduk. Gadis itu bisa menaksir harga lensa kamera itu. Ia bisa saja mengganti lensa kamera itu dengan mudah tapi dari dalam hati kecilnya ia sangat menyesal telah lalai dan ceroboh.

“hmmm” akhirnya suara Romeo terdengar berat. “Tidak apa-apa”

Suaranya bergetar. Romeo merasa sangat marah, tapi apa daya tak ada kekuatan untuk marah.

Romeo melihat wajah gadis yang tertunduk itu dari bawah saat ia mengambil lensa kamera yang jatuh. Matanya memerah. Seakan mau tumpah semua bendungan air mata di matanya.

“Sudah tak apa-apa, gue gak akan ngamuk kok” ujar Romeo.

Entah mengapa sikap temperamental Romeo seketika hilang begitu saja melihat gadis itu. Gadis itu menegakkan kepalanya.

“Sekali lagi maafkan saya, saya tidak sengaja” ujarnya lagi

“oke baiklah tidak apa-apa. Gue tidak marah”

Gadis itu segera mengelurkan sejumlah uang dari tasnya. Dan memberikannya kepada Romeo.

“Mohon diterima, sebagai ganti rugi atas kerusakan lensa kameranya”

“Maaf, gue nggak bisa nerima uang elu, terima kasih”

Romeo menolak uang dari gadis itu. Gadis itu masih saja memaksa tapi sangat tidak mungkin bagi Romeo menolaknya. Hormone gentleman-nya menolak dengan keras hal itu.
Wajah gadis itu masih terlihat sangat menyesal. Romeo mengembangkan senyumannya. 

“Tidak apa-apa mbak”

****

“hah? Lensa gue? (Romeo)

“Ya aampuuun lensa kamera mas itu? (Rani)

Romeo bergegas menuju tas kameranya memastikan bahwa lensa kameranya baik-baik saja. Bagi Romeo, lensa kamera adalah sumber kehidupannya. Rani bergegas duduk sambil beristigfar atas mimpinya.

Semoga tidak menjadi nyata. (Romeo dan Rani)

Romeo segera melirik jam tangannya. Yak! Ia terlonjak kaget dan melihat kesekitarnya. Udara pagi ini membawa sensasi berbeda dalam penutup tahunnya.

Helaan nafas panjang membawa Romeo berdiri disini. Stasiun Tugu, Yogyakarta. Jam tangannya masih menunjukan pukul setengah lima pagi. Tapi hiruk pikuk keramaian stasiun sudah terlihat.

Kryuuk…kryuuuk…kryuuukk…

Sepertinya perutnya sedang berdemo meminta jatah makan asupan. Bahkan ia baru sadar kalau sedari kemarin sore Ia hanya makan setangkup roti berselai kacang buatan mama dan segelas susu coklat favoritnya.

Ahh… gak bisa diajak kompakan dikit nih perut gue desah Romeo.

****

Rani sudah siap dengan tas kecilnya berwarna orange, jilbabnya berwarna merah dan sebuah bros berbentuk “R” terpampang manis di jilbabnya.
Ayah memandangnya dalam diam.

“Hati-hati ya nak”

“Iya ayah”

Rani menyalami ayahnya, kemudian berjalan menuju tempat janjiannya dengan teman-temanya.

Benteng van de berg. Ba’da magrib.

Itulah yang ditulis Ami dalam SMSnya terakhir kali. Sepertinya SMS itu dikirimkan kepada semua orang yang akan ikut malam ini. Rani menggunakan scooter maticnya itu berjalan perlahan menuju tempat janjian mereka. Jalanan jogja sudah sangat ramai. Sebentar lagi akan macet total. Rani perlahan akhirnya memberhentikan motornya di belakang Taman Pintar, di sepanjang pertokoan yang dikatakan Shopping –pertokoan buku bekas dan baru yang sangat terkenal di Jogja-

Di sini akan lebih dekat, pikirnya.

Brak….

Seorang pemuda menabraknya. Botol minum mineral pemuda itu jatuh. Ia hampir saja terhuyung jatuh, untunglah keseimbangan badannya lebih baik.

“Maafkan saya” Ujar pemuda itu tertunduk meminta maaf atas kecerobohannya.

“Iya tidak apa-apa” wajah Rina dihiasi senyum hangat

Kemudian sedetik kemudian mata mereka bertemu dan….

“kamu?” ujar mereka bersamaan.

“Tidak mungkin” (Romeo)

“Astagfirullah” (Rina)

Kemudian mereka terdiam. Hening. Dan disibukan dengan pikiran mereka masing-masing.

Apakah saya masih bermimpi? (Rina)

De javu (Romeo)

Rina segera pergi menghindari pemuda itu. Dia hanya tidak ingin sesuatu dalam mimpinya menjadi kenyataan. Romeo tertegun tak percaya. Gadis dalam mimpinya ada di sini. Nyata. Bahkan ia tak sengaja menyenggolnya.

Rina berjalan sambil memijat kepalanya yang tiba-tiba saja pusing. Masa ada pemuda itu. 
Seperti dalam mimpiku. Ah, mana mungkin. Ini hanya kebetulan saja.

****
Romeo tadi tersesat. Padahal ia berada di pusat kota. Untung saja seorang bapak penjual minum memberitahunya pusat keramaian tahun baru ini. Ia melangkahkan kakinya menuju perempatan Bank Indonesia. Karena menurut bapak penjual tadi itu pusatnya.

Sesak. Sama kayak Jakarta, keluhnya.

Tapi kakinya terus saja melangkah mencari ruang kosong untuknya berdiri leluasa menatap langit. Jalan utama sepertinya di tutup jadi semua yang akan menikmati acara tahun baru ini berjalan kaki. Santai sambil menikmati kebersamaan mereka. Romeo sangat tertarik dengan human photography, ia lalu dengan obensif membidik kameranya. Mengabadikan semua momen yang ada malam ini.

Jangan sampai malam ini menjadi malam penutup dan pembuka tahun yang sia-sia, batinnya.

Jpret!!!

Gadis berparas ayu tertangkap bidikan kameranya. Natural. Siapa dia? Romeo membidik lebih banyak foto gadis ini. Candid camera. Entah mengapa Ia hanya mengikuti intuisinya saja.

“Mas, permisi. Bisa tolong fotokan kami?” seseorang menepuk pundaknya saat ia sedang melihat hasil bidikannya.

“oh-iya sebentar” ujarnya

Romeo mengambil kamera pocket gadis itu. Warna pink.

Jpret!!!

Sepertinya aku pernah melakukan hal ini, desisnya.

Dan Ia bisa menebak apa yang terjadi. Selanjutnya, selanjutnya, hingga Romeo menemukan momen saat ia berkenal gadis berjilbab merah itu. Yah sama seperti di mimpinya. Namanya. Sifatnya. Lesung pipinya. Semua sama. Tak ada yang berbeda.

De Javu.

***

Semua keputusannya untuk ke Yogyakarta kembali menyakinkannya. Urat sarafnya berpacu dengan logikanya.

Ah sial !!! Tidak masuk akal. Tidak ada kebetulan yang terjadi hingga berkali-kali, desisnya.

Keramaian yang makin terasa. Pengap. Romeo merasakan keringat mengalir deras. Dan acara puncak belum dimulai. Yang sudah dimulai hanya pikiran logikannya yang bercampur aduk dengan mimpinya. Tak bisa ia pungkiri.

“Mas, bisa minta fotoin lagi pas kembang apinya nyala ya”

Seorang gadis yang Romeo kenal dengan nama Ami, memintanya untuk mengabadikan momen itu. Romeo dengan senang hati menolong mereka. Entahlah mengapa.

Acara puncak telah mendekati detik-detik momennya. Beberaapa orang disana sudah siap meniupkan terompet mereka. Sedangkan lainnya tengah siap menatap langit gelap untuk melihat keindahan langit malam bernuansa kembang api. Dan beberapa fotografer yang ada disana sudah siap membidik momen pergantian tahun ini dalam kamera aku. Romeopun begitu. Sudah siap dengan kamera dan membidik.

Jpret!!!

Wajah natural yang selalu ia abadaikan menadai awal tahun ini, 2013. Tahun baru untuk resolusi baru. Gadis berjilbab merah dengan nama Maharani, atau Rani menjadi titik awal yang baru baginya. Entahlah sejak kapan ia mulai yakin. Padahal mereka baru saja bertemu dan hanya dalam hitungan jam.

****

Yogyakarta, menemani hari-hari Romeo di awal tahun 2013 ini. Mencari tahu tentang Maharani. Menilisik semua kehidupannya. Menyapanya di saat pagi hari. Waktu seminggu jatah cuti dari boss membuat Romeo enggan pulang ke Jakarta.

Cepat banget sih, desis Romeo.

“Ran, bolehkah aku menemui ayahmu?”

Romeo memberanikan dirinya. ENtahlah apa yang ada di otaknya. Ia hanya memastikan kata hatinya saja.

 “Ayah?” Wajah Rani terkejut mendengar perkataan itu.

“Iya, Ayahmu. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada ayahmu” ujar Romeo serius

Rani mengangguk, Ia berjanji akan memberitahu kapan Romeo bisa menemui ayahnya.

Apa yang dipikirkan Romeo? (Rani)

Aku harus membuat semuanya menjadi jelas, kata hatiku sudah menuntunku kesini. (Romeo)

Pertemuan yang begitu singkat. Tidak ada yang menyangka. Rani, Romeo hanya terdiam. Semuanya sudah diatur. De javu, mimpi. Kadang memang tak bisa dilogikan.
Romeo membanting tubuhnya diatas kasur losmennya.
Apakah aku benar-benar yakin? (Romeo)

Rani terpekur menatap jendela kamarnya.

Romeo, pemuda yang baru temu secara nyata tapi selalu aku jumpai dalam mimpi, apakah maksud semuanya ini? (Rani)

****
Assalammualaikum, ayah bilang temui beliau besok ba’da isya di rumah. Waallaikumsalam ^.^

Romeo membaca SMS dari Rani. Secepat itu. Baiklah. Romeo mempersiapkan dirinya untuk besok. Kamera kesayanganya itu terduduk manis di naksan dekat tempat tidurnya.
Romeo kembali melihat hasil bidikannya malam itu. Wajah Maharani mempesonnya. Membuatnya tak bosan untuk memandangnya dalam kamera itu. Mengulangi momen – momen mengenalnya. walaupun mengenalnya lewat dari teman-temannya, Romeo sudah memantapkan hatinya.

Dia. Yah, dia. Maharani, desah Romeo Pasrah.

****
Pertemuan dengan ayah Rani. Romeo memang tak punya persiapan lebih. Dia tak hanya seorang pemuda yang masih belia. Entahlah mungkin ayah Rani akan bilang romeo adalah pemuda bau kencur yang mau mendekati anaknya.

“Assalammualaikum, pak” Romeo member salam lalu menyalami ayah Rani.

Perkenalan pertama mereka. Canggung. Yah memang masih selayaknya begitu. Mereka baru kenal canggung. Aura yang tak disukai Romeo saat seperti ini. Rani hanya menduduk di ujung kursinya. Menit-menit yang membuat Romeo mati gaya. Mati kutu. Lebih daripada ujian akhir waktu akan kelulusan SMA.

“Perkenalan nama saya Romeo Pratama, pak” kata Romeo gentleman.

Romeo melihat raut wajah ayah Rina. Tenang. Datar. Entahlah tak pernah ada ekspresi apapun dalam perkenalannya. Ayah Rina hanya sedikit berbicara di awal, tegas dan tenang. Suasana ruang tamu yang tak berAc ini bisa membekukan ketiganya. Romeo menjelaskan semua maksudnya kepada Ayah Rina.

“Iya, Romeo. Bapak sudah tahu maksud dan tujuan nak Romeo ke sini. Saya menyerahkan semuanya pada Rani. Kalaupun itu membuat anak saya bahagia, saya juga akan bahagia”

Jawaban yang tepat. Jawaban yang menenangkan. Terlukis senyum tulus dari ayah Rani ketika semua maksud tersampaikan. Aura ruang tamu ini mulai menghangat. Percakapan sudah mulai mencair. Rani sudah menghidangkan makanan dan minuman. Hingga Romeo melirik jam tangannya. Pukul 10 malam. Hah? Romeo berdecak tak sengaja.

“maaf pak, saya izin pamit dulu. Sudah terlalu larut untuk bertamu” ujar Romeo.

Ayah Rani mempersilahkan Romeo untuk pamit. “Iya hati-hati ya nak”

Rani menatap kepulangan Romeo dengan senyuman manis. Lesung pipinya menawan hati Romeo malam itu.

***
From: Jerry
Loe, kapan pulang? Klien udah nungguin loe!!!

Romeo memandangi LCD Handphonenya. Romeo sudah menuntaskan tujuannya datang ke Yogyakarta ini. Ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meresmikan semuanya. Dan semua butuh waktu dan proses persiapan yang panjang. Apalagi kalau mama tahu bisa makin panjang semua prosesnya.
Romeo segera menghubungi Rani.

“Assalammualaikum, Rani”

“Iya waalaikumsalm, Romeo”

“saya akan ke rumah kamu jam 11 ini, Ayahmu ada?”

“oh iya, ada apa?” suara gusar Ranni terdengar.

“Mau pamit pulang ke Jakarta” Kata Romeo bergetar

“iya, silakan” suara Rani sedikit sendu.

“Jangan sedih, akan saya jelaskan semuanya” Romeo menyadari perubahan ekspresi yang ada pada Rani.

Romeo menutup teleponnya. Segera bergegas mandi adan bersiap check out dari losmen ini. Memasukan semua peralatan memotrenya kedalam tas.

Siap!!!

****

Kereta agro lawu akan membawanya kembali ke Ibukota dengan semua kepenatan pekerjaan. Romeo. Tak berjanji banyak. Tak berjanji cinta. Ia hanya berjanji keseriusan yang ada untuk Rani.

Rani hanya bisa berpasrah padaNya. Tuhan Maha Mengetahui. Doanya ketika kereta yang membawa Romeo sudah terdengar deru pluit panjangnya.

“Romeo, hati-hati di jalan ya”

Rani hanya mendundukan kepalanya. Ia sadar kalau dia memandang kepergian Romeo aka nada bulir-bulir berlian yang meluncur dari pelupuk matanya.
Romeo tak berani menyentuh Rani,

“Rani, titip semua keseriusan ini ya, saya akan kembali dan jangan bersedih”

Romeo mencoba meneangkan Rani, “Rani, kan masih bisa menghubungi saya sesekali”

Romeo menunjukan Handphonenya dengan wajah jenaka. Mau tak mau Rani menoleh kepadanya dan tersenyum. Memaksa memang, tapi itu akan lebih baik. Dan membuat Romeo tak makin bersalah meninggakannya di sini. Yogyakarta.

Romeo menyodorkan sebuah foto. Fotonya yang sedang menatap Rani yang memang ia sengaja setting saat itu. Candid camera.

Romeo tersenyum dan melambaikan tanganya menuju peron yang menunjukan tempat duduknya. Rani masih saja berdiri di tempatnya, menanti kereta itu benar-benar menghilang dari padangannya.

Tes…. Romeo hati-hati dijalan, bisiknya dalam hati.

***

Jakarta, dan Romeo kembali pada rutinitasnya. Bosnya mendapatkan banyak cerita yang menarik dari Romeo, dan tersenyum simpul mendengar akhir cerita mimpinya. Mama. Menatap takjub anak tunggalnya. Gayanya yang slengan membuat mamanya tak percaya atas keputusannya. Dan semuanya menjadi cerita tersendiri untuk Romeo.

Bulan-bulan berganti di tahun 2013. Perjalanan kehidupannya berganti dengan menyenangkan. Rani sesekali bertukar kabar dengan Romeo di Jakarta. Begitu pula sebaliknya. Romeo sesekali mengirimkan beberapa foto yang dia edit untuk Rani yang merindukannya.

Hingga saat yang memaang sudah ia rencanakan itu datang.

“Maaaaaa…. Sudah siap belum nih?” jerit Romeo nervous.

 Mamanya berjalan pelan dengan kebaya yang Indonesia banget. Papa yang sudah siap dari tadi tersenyum simpul melihat Romeo yang senewan.

“sabar dulu nak” kata mama.

Beberapa sepupunya sudah siap berbenah memasukan berbagai hantaran ke dalam mobil dan mereka siap menuju tempat yang selama setahun dijanjikan Romeo. Wajah sumringah terlihat menghiasi keluarga Romeo.

“Yah, Rani akan menikah” Rani memeluk ayahnya pilu.

“Iya ayah tahu, ini memang saatnya nak. Ayah sangat bahagia”

Peluk haru ayah anak ini menitikan air mata beberapa bude dan pak de yang melihat mereka. Rani dengan balutan kebaya muslimah berwarna peach membuat wajahnya merona merah. Lesung pipinya terlihat jelas.

“sekarang hapus airmatanya dan bersiap menujua puncak hari yang selalu di nanti”

Ayah Rani menghapus air mata anak satu-satunya itu. Di peluk erat Rani. Mengecup keningnya.

“Ayah mencintaimu, Maharani”

***
Rombongan pengantin pria sampai di depan rumah pengantin wanita. Iring-iringan pengantin pria menambah syahdu. Gamelan cirri khas dari Yogyakarta menambah semarak hari ini.

Gue nervous, desis Romeo

Aku terharu, pekik haru Rani.

Romeo berjalan menuju tempat yang ditentukan. Dan acara akad nikah langsung dimulai. Romeo mengucapkan lafal ijab qabul dengan lancar.

Sah!!!

Semua tangan terangkat, lafalkan doa untuk kedua pengantin ini.

***

Romeo mengingat kembali detail kejadian dalam mimpinya. Melihat gadis itu dihadapannya. Menyentuh lembut pipinya. Senyum hangat dengan lesung pipi di pipi kirinya merekah. Membius. Mempesona. Dan sekarang menjadi nyata. Jelas. Tepat di tahun kedua sejak pertemuan mereka saat kembang api di tahun itu merekah menjadi saksi pertemuan mereka.

Terima kasih telah menerimaku menjadi suamimu, kata Romeo berbisik lembut.

De javu atau takdir?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar