Jpret!!!
Gadis berjilbab merah berdiri tersenyum lembut. Natural.
Duduk menanti di depan pintu benteng ternama di Jogja.
Romeo melihatnya. De
javu.
Dia? Siapa dia?
***
Tahun baru di tahun 2013 telah membawanya kembali ke
Yogyakarta. Kota dimana ia dilahirkan tanpa hari banyak merasakan kultur budaya
disini. Romeo memandang langit gelap bertabur kilauan kembang api yang
menyemarakan langit. Keramaian suara terompet tak mengusiknya. Lalu apa yang
membawanya kembali ke sini. Tanpa tempat tujuan yang jelas. Tanpa tahu sanak
keluarga disini. Ah Jogja.
Dan Romeo memastikan mendapatkan moment yang paling
berkesan disini. Yogyakarta. Kota istimewa dengan sejuta pesona adat dan tata krama
jawi. Menawan hati untuk selalu hadir
disini.
Romeo kembali menjelajahi hasil jepretannya.
Memastikan semua momen yang diabadikannya sesuai dengan kemauannya. Nice!!!
Romeo tersenyum sumringah melihat hasil jepretannya.
Kali ini usahanya untuk berada di Yogyakarta berjalan dengan mulus. Ransel
berukuran sedang khas backpacker tersandang apik di pundaknya. Selain itu tas
selempang bernuansa gelap sudah bertengger menyimpan beberapa lensa andalannya.
Kamera canon 60D hasil jerih payahnya selama bekerja di AIR photography sudah
mengantung manis di lehernya. Berbekal lensa ukuran 18-200 mm, Romeo hanya
ingin mengejar momen kegembiraan tahun baru ini.
“Permisi, bisa minta fotokan kami”
Seorang gadis menyapa Romeo meminta bantuan, lalu
menyodorkan sebuah kamera pocket berwarna pink –feminism sekali batinnya- kepada Romeo. Ia sedikit memberikan
aba-aba untuk sekelompok gadis ini untuk berekspresi. Mereka berteriak gembira
dalam momen itu – tepat saat sebuah
kilatan kembang api yang merekah di atas kepala mereka. Romeo memberikan
aba-aba untuk foto kedua ini, kali ini Ia dengan sengaja menggunakan kameranya.
Memberikan aba-aba kepada mereka untuk melompat dengan ekspresi yang gembira.
Jpret!!!
I got it – batin Romeo.
“Terima kasih, mas. Sudah senang hati memotret kami”
“Iya sama-sama” Ujar Romeo sambil tersenyum.
“Sendirian saja mas?” Ujar gadis itu lagi
“Iya, sendirian. Dan sangat bingung”
Sedetik kemudian Romeo sudah tampak akrab dengan
sekelompok gadis yang tadi memintanya memotret. Romeo berkenalan dengan mereka.
Dan satu hal yang paling romeo ingat. Maharani. Yah Maharani. Romeo seperti
pernah melihatnya. Mengenalnya. Gadis pendiam dengan kerudung merahnya itu,
membuat hati Romeo tiba-tiba mencelos begitu aja. Getaran yang bahkan belum
pernah sekalipun Romeo rasakan selama 22 tahun ini.
Maharani mencuri separuh hatinya disini. Di
Yogyakarta.
Akhirnya mereka- romeo
dan 5 gadis sebayanya- sepakat untuk berjalan bersama menuju alun-alun
utara. Mencari suasana tahun baru yang lain ujar Ami yang mulai modus untuk
minta difotoi. Entah mengapa Romeo tak keberatan untuk mengabadikan semua
kegiatan para gadis malam ini.
****
“Raaaniiii….” Jerit Meka
Rani menoleh dengan lembut ke arah Meka. Wajah meka
merah, seperti udang rebus dan penuh dengan peluh.
“Sudah diputuskan malam Tahun Baru kita akan pergi
bersama, sudah izin ayahmu?”
Rani hanya diam. Ia belum izin ayahnya. Keyakinannya
hanya satu. DITOLAK. Ayahnya sangat tak menyukai Rani mengikuti acara-acara
seperti ini. Lebih baik pergi ke pengajian daripada hura-hura seperti itu.
Itulah yang selalu dikatakan ayahnya.
Semua teman Rani tahu bahwa ayah Rani kolot. Tak
mengenal budaya seperti ini. Tapi Rani tahu dibalik semua itu ayahnya punya
alasan yang jelas. Tapi Rani tak pernah sekalipun membantah semua keputusan
ayahnya. Bagi Rani, ayahnya sangat berarti, karena semenjak Bunda meninggal dua
tahun lalu Rani hanya tinggal berdua ayahnya, dan itulah mengapa Rani sangat
mematuhi semua perintah ayahnya.
Jika ayahnya bilang “TIDAK” maka Rani tidak akan
melakukannya. Tapi menurtu teman-temannya adakalanya Rani harus memberanikan
diri untuk membantah ayahnya sesekali.
Dilema.
Rani mengetuk-ngetuk meja yang ada dihadapannya dengan
pensil mekaniknya.
“hmmm” Rani berdeham panjang
Wajah Meka sedang menatap Rani dengan seksama.
“Akan aku kabari nanti malam ya”
Akhirnya Rani memutuskan untuk menunda menjawab ajakan
teman-temannya.
****
“Gue akan pergi selama seminggu boss”
Romeo duduk didepan bossnya yang sedang membersihkan
kamera kesayangannya.
“Mau kemana lu? Sendirian?”
Sekali anggukan kecil tanpa menjelaskan mau kemana dia
pergi, Romeo beranjak mendekati bossnya.
“gue mau berpetualang boss”
Seperti biasa, sang boss sudah tahu jelas watak
bawahannya satu ini. Tanpa perlu menanyakan lebih. Sang bos menganggukan
kepalanya,dan tersenyum.
“Semoga acara tahun baru lu menyenangkan,Rom”
Romeo menyeringai sumringah atas izin dari bossnya
ini. Dan kemudian meninggalkan ruangan kecil sang boss dengan semangat.
****
Rani mengetuk-ngetuk pena di atas meja belajarnya.
Tahun baru ini, entah mengapa ada keinginan besar dalam dirinya untuk ikut
menikmati tahun baru ini tapi ada ketakutan besar atas penolakan sang ayah.
Tok…tokk…tokk…
Pintu kamar Rani diketuk. Ia sudah bisa menebak bahwa
yang mengetuk pintu itu adalah ayahnya.
“Rani” wajah ayahnya yang sumringah menyembul dibalik
pintunya “ sedang apa nak?”
“A-ayah…” tergagap Rani menyahut panggilan ayahnya.
Senyuman hangat sang ayah menghilangkan ketakutannya
sejenak.
Sepertinya ayah dalam keadaan yang baik dan menyenangkan.
“ada yang sedang menganggu pikiranmu, nak?”
“hmmm”
Ayah mengelus perlahan kepalanya lembut.
“yah, Rani mau minta izin boleh?”
“boleh, Rani mau kemana?”
Hening. Rani dilemma. Ketakutannya lebih besar dari
keinginannya.
“Rani” Ayah menyentuh kepala Rani lembut.
Rani tergelak menatap ayahnya. Ayahnya masih dalam
keadaan tenang dan tersenyum hangat.
“Rani mau izin pergi di malam tahun baru besok malam,
yah” ujar Rani takut-takut.
Ayahnya diam.
“Tapi kalau Rani tidak diizinkan Rani tidak akan pergi
yah” Rani langsung meralat keinginannya untuk pergi.
Ayah Rani mengelus kepala Rani, Kerutan di kening
ayahnya memberikan symbol sesuatu yang membuat Rani tak bisa menebak apapun.
Rani sudah lebih dahulu pasrah dengan semua keputusan ayahnya.
*********
“Yes!!! Tugas terakhir gue di akhir tahun ini”
Romeo terlihat sangat bersemangat melakukan project
terakhirnya hari ini. Padahal sebelumnya Romeo paling malas sekali dalam
project ini. Karena ia sangat benci dengan anak-anak.
Jerry menangkap kebahagian di wajah Romeo hari ini.
“tumben lu bahagia banget hari ini, biasanya kalau
dapet kayak gitu elu mengerutu sepanjangan” ujar Jerry menelisik
Romeo mengedipkan matanya “ Loyalitas dalam bekerja
bro”
Jerry melongo tak percaya mendengar perkataaan Romeo.
Entahlah mungkin ada setan kesiangan yang hinggap di badan Romeo. Tapi Jerry
bersyukur karena pekerjaan hari lebih menyenangkan tanpa mendengar gerutuan Romeo
seperti biasa.
****
Jam setengah tujuh malam. Ransel, sepatu hitam
converse lusuh, Jaket hitam, tas kamera. Hap! Semua sudah lengkap. Romeo sudah
duduk di stasiun senen, menanti kereta yang akan membawanya sedikit rileks dari
pekerjaaannya. Sebenarnya dia tidak jemu memotret tapi dia hanya butuh udara
segar dalam memotret.
Dan sebuah mimpi membawanya dalam cerita yang baru.
***
Rani tak menyangka atas jawaban Ayah. Wajahnya
sumringah dan langsung mengabari meka.
Assalammualaikum.
Meka, Insyaallah saya ikut
acara tahun baruan besok malam.
Waalaikumsalam. ^.^
Raut
wajah Rani merona bahagia. Saking bahagianya atas izin ayah, Rani bisa tidur
dengan pulas. Dan sebuah mimpi membawanya dalam cerita yang belum pernah ia
rasakan.
****
Brak……
“ma-
maaf, ma- maafkan saya”
Seseorang
gadis berjilbab tidak sengaja menjenggol lensa kamera yang ada di tangan Romeo.
Romeo hanya terdiam menatap lensa kamera yang meloncat tanpa bisa dikendalikan
dari tangannya. Ia tak bergeming. Berkecamuk rasa di hatinya, di kepalanya ia
ingin sekali meninju orang yang tidak sengaja menjenggolnya. Tapi.
“ma-
maafkan saya, mas”
Gadis itu tertunduk merasa bersalah. Wajahnya yang mungil
menuduk. Gadis itu bisa menaksir harga lensa kamera itu. Ia bisa saja mengganti
lensa kamera itu dengan mudah tapi dari dalam hati kecilnya ia sangat menyesal
telah lalai dan ceroboh.
“hmmm”
akhirnya suara Romeo terdengar berat. “Tidak apa-apa”
Suaranya
bergetar. Romeo merasa sangat marah, tapi apa daya tak ada kekuatan untuk
marah.
Romeo
melihat wajah gadis yang tertunduk itu dari bawah saat ia mengambil lensa
kamera yang jatuh. Matanya memerah. Seakan mau tumpah semua bendungan air mata
di matanya.
“Sudah
tak apa-apa, gue gak akan ngamuk kok” ujar Romeo.
Entah
mengapa sikap temperamental Romeo seketika hilang begitu saja melihat gadis
itu. Gadis itu menegakkan kepalanya.
“Sekali
lagi maafkan saya, saya tidak sengaja” ujarnya lagi
“oke
baiklah tidak apa-apa. Gue tidak marah”
Gadis
itu segera mengelurkan sejumlah uang dari tasnya. Dan memberikannya kepada
Romeo.
“Mohon
diterima, sebagai ganti rugi atas kerusakan lensa kameranya”
“Maaf,
gue nggak bisa nerima uang elu, terima kasih”
Romeo
menolak uang dari gadis itu. Gadis itu masih saja memaksa tapi sangat tidak
mungkin bagi Romeo menolaknya. Hormone gentleman-nya menolak dengan keras hal
itu.
Wajah
gadis itu masih terlihat sangat menyesal. Romeo mengembangkan senyumannya.
“Tidak apa-apa mbak”
****
“hah?
Lensa gue? (Romeo)
“Ya
aampuuun lensa kamera mas itu? (Rani)
Romeo
bergegas menuju tas kameranya memastikan bahwa lensa kameranya baik-baik saja. Bagi
Romeo, lensa kamera adalah sumber kehidupannya. Rani bergegas duduk sambil
beristigfar atas mimpinya.
Semoga tidak
menjadi nyata. (Romeo dan Rani)
Romeo
segera melirik jam tangannya. Yak! Ia terlonjak kaget dan melihat kesekitarnya.
Udara pagi ini membawa sensasi berbeda dalam penutup tahunnya.
Helaan
nafas panjang membawa Romeo berdiri disini. Stasiun Tugu, Yogyakarta. Jam
tangannya masih menunjukan pukul setengah lima pagi. Tapi hiruk pikuk keramaian
stasiun sudah terlihat.
Kryuuk…kryuuuk…kryuuukk…
Sepertinya
perutnya sedang berdemo meminta jatah makan asupan. Bahkan ia baru sadar kalau
sedari kemarin sore Ia hanya makan setangkup roti berselai kacang buatan mama dan
segelas susu coklat favoritnya.
Ahh… gak bisa diajak kompakan
dikit nih perut gue desah Romeo.
****
Rani
sudah siap dengan tas kecilnya berwarna orange, jilbabnya berwarna merah dan
sebuah bros berbentuk “R” terpampang manis di jilbabnya.
Ayah
memandangnya dalam diam.
“Hati-hati
ya nak”
“Iya
ayah”
Rani
menyalami ayahnya, kemudian berjalan menuju tempat janjiannya dengan
teman-temanya.
Benteng van de berg. Ba’da
magrib.
Itulah
yang ditulis Ami dalam SMSnya terakhir kali. Sepertinya SMS itu dikirimkan
kepada semua orang yang akan ikut malam ini. Rani menggunakan scooter maticnya itu berjalan perlahan
menuju tempat janjian mereka. Jalanan jogja sudah sangat ramai. Sebentar lagi
akan macet total. Rani perlahan akhirnya memberhentikan motornya di belakang
Taman Pintar, di sepanjang pertokoan yang dikatakan Shopping –pertokoan buku bekas dan baru yang sangat terkenal di
Jogja-
Di sini
akan lebih dekat, pikirnya.
Brak….
Seorang
pemuda menabraknya. Botol minum mineral pemuda itu jatuh. Ia hampir saja
terhuyung jatuh, untunglah keseimbangan badannya lebih baik.
“Maafkan
saya” Ujar pemuda itu tertunduk meminta maaf atas kecerobohannya.
“Iya
tidak apa-apa” wajah Rina dihiasi senyum hangat
Kemudian
sedetik kemudian mata mereka bertemu dan….
“kamu?”
ujar mereka bersamaan.
“Tidak
mungkin” (Romeo)
“Astagfirullah”
(Rina)
Kemudian
mereka terdiam. Hening. Dan disibukan dengan pikiran mereka masing-masing.
Apakah saya masih bermimpi?
(Rina)
De javu (Romeo)
Rina
segera pergi menghindari pemuda itu. Dia hanya tidak ingin sesuatu dalam
mimpinya menjadi kenyataan. Romeo tertegun tak percaya. Gadis dalam mimpinya
ada di sini. Nyata. Bahkan ia tak sengaja menyenggolnya.
Rina
berjalan sambil memijat kepalanya yang tiba-tiba saja pusing. Masa ada pemuda
itu.
Seperti dalam mimpiku. Ah, mana mungkin. Ini hanya kebetulan saja.
****
Romeo
tadi tersesat. Padahal ia berada di pusat kota. Untung saja seorang bapak
penjual minum memberitahunya pusat keramaian tahun baru ini. Ia melangkahkan
kakinya menuju perempatan Bank Indonesia. Karena menurut bapak penjual tadi itu
pusatnya.
Sesak. Sama kayak Jakarta,
keluhnya.
Tapi
kakinya terus saja melangkah mencari ruang kosong untuknya berdiri leluasa
menatap langit. Jalan utama sepertinya di tutup jadi semua yang akan menikmati
acara tahun baru ini berjalan kaki. Santai sambil menikmati kebersamaan mereka.
Romeo sangat tertarik dengan human
photography, ia lalu dengan obensif membidik kameranya. Mengabadikan semua
momen yang ada malam ini.
Jangan sampai malam ini menjadi
malam penutup dan pembuka tahun yang sia-sia, batinnya.
Jpret!!!
Gadis
berparas ayu tertangkap bidikan kameranya. Natural. Siapa dia? Romeo membidik
lebih banyak foto gadis ini. Candid
camera. Entah mengapa Ia hanya mengikuti intuisinya saja.
“Mas,
permisi. Bisa tolong fotokan kami?” seseorang menepuk pundaknya saat ia sedang
melihat hasil bidikannya.
“oh-iya
sebentar” ujarnya
Romeo
mengambil kamera pocket gadis itu. Warna pink.
Jpret!!!
Sepertinya aku pernah melakukan
hal ini, desisnya.
Dan Ia
bisa menebak apa yang terjadi. Selanjutnya, selanjutnya, hingga Romeo menemukan
momen saat ia berkenal gadis berjilbab merah itu. Yah sama seperti di mimpinya.
Namanya. Sifatnya. Lesung pipinya. Semua sama. Tak ada yang berbeda.
De Javu.
***
Semua
keputusannya untuk ke Yogyakarta kembali menyakinkannya. Urat sarafnya berpacu
dengan logikanya.
Ah sial !!! Tidak masuk akal.
Tidak ada kebetulan yang terjadi hingga berkali-kali, desisnya.
Keramaian
yang makin terasa. Pengap. Romeo merasakan keringat mengalir deras. Dan acara
puncak belum dimulai. Yang sudah dimulai hanya pikiran logikannya yang
bercampur aduk dengan mimpinya. Tak bisa ia pungkiri.
“Mas,
bisa minta fotoin lagi pas kembang apinya nyala ya”
Seorang
gadis yang Romeo kenal dengan nama Ami, memintanya untuk mengabadikan momen
itu. Romeo dengan senang hati menolong mereka. Entahlah mengapa.
Acara
puncak telah mendekati detik-detik momennya. Beberaapa orang disana sudah siap
meniupkan terompet mereka. Sedangkan lainnya tengah siap menatap langit gelap
untuk melihat keindahan langit malam bernuansa kembang api. Dan beberapa
fotografer yang ada disana sudah siap membidik momen pergantian tahun ini dalam
kamera aku. Romeopun begitu. Sudah siap dengan kamera dan membidik.
Jpret!!!
Wajah
natural yang selalu ia abadaikan menadai awal tahun ini, 2013. Tahun baru untuk
resolusi baru. Gadis berjilbab merah dengan nama Maharani, atau Rani menjadi
titik awal yang baru baginya. Entahlah sejak kapan ia mulai yakin. Padahal
mereka baru saja bertemu dan hanya dalam hitungan jam.
****
Yogyakarta,
menemani hari-hari Romeo di awal tahun 2013 ini. Mencari tahu tentang Maharani.
Menilisik semua kehidupannya. Menyapanya di saat pagi hari. Waktu seminggu
jatah cuti dari boss membuat Romeo enggan pulang ke Jakarta.
Cepat banget sih, desis Romeo.
“Ran,
bolehkah aku menemui ayahmu?”
Romeo
memberanikan dirinya. ENtahlah apa yang ada di otaknya. Ia hanya memastikan
kata hatinya saja.
“Ayah?”
Wajah Rani terkejut mendengar perkataan itu.
“Iya,
Ayahmu. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada ayahmu” ujar Romeo serius
Rani mengangguk,
Ia berjanji akan memberitahu kapan Romeo bisa menemui ayahnya.
Apa
yang dipikirkan Romeo? (Rani)
Aku
harus membuat semuanya menjadi jelas, kata hatiku sudah menuntunku kesini.
(Romeo)
Pertemuan
yang begitu singkat. Tidak ada yang menyangka. Rani, Romeo hanya terdiam.
Semuanya sudah diatur. De javu, mimpi. Kadang memang tak bisa dilogikan.
Romeo
membanting tubuhnya diatas kasur losmennya.
Apakah aku benar-benar yakin?
(Romeo)
Rani
terpekur menatap jendela kamarnya.
Romeo, pemuda yang baru temu
secara nyata tapi selalu aku jumpai dalam mimpi, apakah maksud semuanya ini?
(Rani)
****
Assalammualaikum, ayah
bilang temui beliau besok ba’da isya di rumah. Waallaikumsalam ^.^
Romeo
membaca SMS dari Rani. Secepat itu. Baiklah. Romeo mempersiapkan dirinya untuk
besok. Kamera kesayanganya itu terduduk manis di naksan dekat tempat tidurnya.
Romeo
kembali melihat hasil bidikannya malam itu. Wajah Maharani mempesonnya.
Membuatnya tak bosan untuk memandangnya dalam kamera itu. Mengulangi momen –
momen mengenalnya. walaupun mengenalnya lewat dari teman-temannya, Romeo sudah
memantapkan hatinya.
Dia.
Yah, dia. Maharani, desah Romeo Pasrah.
****
Pertemuan
dengan ayah Rani. Romeo memang tak punya persiapan lebih. Dia tak hanya seorang
pemuda yang masih belia. Entahlah mungkin ayah Rani akan bilang romeo adalah
pemuda bau kencur yang mau mendekati anaknya.
“Assalammualaikum,
pak” Romeo member salam lalu menyalami ayah Rani.
Perkenalan
pertama mereka. Canggung. Yah memang masih selayaknya begitu. Mereka baru kenal
canggung. Aura yang tak disukai Romeo saat seperti ini. Rani hanya menduduk di
ujung kursinya. Menit-menit yang membuat Romeo mati gaya. Mati kutu. Lebih
daripada ujian akhir waktu akan kelulusan SMA.
“Perkenalan
nama saya Romeo Pratama, pak” kata Romeo gentleman.
Romeo
melihat raut wajah ayah Rina. Tenang. Datar. Entahlah tak pernah ada ekspresi
apapun dalam perkenalannya. Ayah Rina hanya sedikit berbicara di awal, tegas
dan tenang. Suasana ruang tamu yang tak berAc ini bisa membekukan ketiganya.
Romeo menjelaskan semua maksudnya kepada Ayah Rina.
“Iya,
Romeo. Bapak sudah tahu maksud dan tujuan nak Romeo ke sini. Saya menyerahkan
semuanya pada Rani. Kalaupun itu membuat anak saya bahagia, saya juga akan
bahagia”
Jawaban
yang tepat. Jawaban yang menenangkan. Terlukis senyum tulus dari ayah Rani
ketika semua maksud tersampaikan. Aura ruang tamu ini mulai menghangat.
Percakapan sudah mulai mencair. Rani sudah menghidangkan makanan dan minuman.
Hingga Romeo melirik jam tangannya. Pukul 10 malam. Hah? Romeo berdecak tak
sengaja.
“maaf
pak, saya izin pamit dulu. Sudah terlalu larut untuk bertamu” ujar Romeo.
Ayah
Rani mempersilahkan Romeo untuk pamit. “Iya hati-hati ya nak”
Rani
menatap kepulangan Romeo dengan senyuman manis. Lesung pipinya menawan hati
Romeo malam itu.
***
From: Jerry
Loe, kapan pulang? Klien
udah nungguin loe!!!
Romeo
memandangi LCD Handphonenya. Romeo sudah menuntaskan tujuannya datang ke
Yogyakarta ini. Ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meresmikan
semuanya. Dan semua butuh waktu dan proses persiapan yang panjang. Apalagi
kalau mama tahu bisa makin panjang semua prosesnya.
Romeo
segera menghubungi Rani.
“Assalammualaikum,
Rani”
“Iya
waalaikumsalm, Romeo”
“saya
akan ke rumah kamu jam 11 ini, Ayahmu ada?”
“oh
iya, ada apa?” suara gusar Ranni terdengar.
“Mau
pamit pulang ke Jakarta” Kata Romeo bergetar
“iya,
silakan” suara Rani sedikit sendu.
“Jangan
sedih, akan saya jelaskan semuanya” Romeo menyadari perubahan ekspresi yang ada
pada Rani.
Romeo
menutup teleponnya. Segera bergegas mandi adan bersiap check out dari losmen
ini. Memasukan semua peralatan memotrenya kedalam tas.
Siap!!!
****
Kereta agro
lawu akan membawanya kembali ke Ibukota dengan semua kepenatan pekerjaan.
Romeo. Tak berjanji banyak. Tak berjanji cinta. Ia hanya berjanji keseriusan
yang ada untuk Rani.
Rani
hanya bisa berpasrah padaNya. Tuhan Maha Mengetahui. Doanya ketika kereta yang
membawa Romeo sudah terdengar deru pluit panjangnya.
“Romeo,
hati-hati di jalan ya”
Rani
hanya mendundukan kepalanya. Ia sadar kalau dia memandang kepergian Romeo aka
nada bulir-bulir berlian yang meluncur dari pelupuk matanya.
Romeo
tak berani menyentuh Rani,
“Rani,
titip semua keseriusan ini ya, saya akan kembali dan jangan bersedih”
Romeo
mencoba meneangkan Rani, “Rani, kan masih bisa menghubungi saya sesekali”
Romeo
menunjukan Handphonenya dengan wajah jenaka. Mau tak mau Rani menoleh kepadanya
dan tersenyum. Memaksa memang, tapi itu akan lebih baik. Dan membuat Romeo tak
makin bersalah meninggakannya di sini. Yogyakarta.
Romeo
menyodorkan sebuah foto. Fotonya yang sedang menatap Rani yang memang ia
sengaja setting saat itu. Candid camera.
Romeo
tersenyum dan melambaikan tanganya menuju peron yang menunjukan tempat
duduknya. Rani masih saja berdiri di tempatnya, menanti kereta itu benar-benar
menghilang dari padangannya.
Tes….
Romeo hati-hati dijalan, bisiknya dalam hati.
***
Jakarta,
dan Romeo kembali pada rutinitasnya. Bosnya mendapatkan banyak cerita yang
menarik dari Romeo, dan tersenyum simpul mendengar akhir cerita mimpinya. Mama.
Menatap takjub anak tunggalnya. Gayanya yang slengan membuat mamanya tak
percaya atas keputusannya. Dan semuanya menjadi cerita tersendiri untuk Romeo.
Bulan-bulan
berganti di tahun 2013. Perjalanan kehidupannya berganti dengan menyenangkan.
Rani sesekali bertukar kabar dengan Romeo di Jakarta. Begitu pula sebaliknya.
Romeo sesekali mengirimkan beberapa foto yang dia edit untuk Rani yang
merindukannya.
Hingga
saat yang memaang sudah ia rencanakan itu datang.
“Maaaaaa….
Sudah siap belum nih?” jerit Romeo nervous.
Mamanya
berjalan pelan dengan kebaya yang Indonesia banget. Papa yang sudah siap dari
tadi tersenyum simpul melihat Romeo yang senewan.
“sabar
dulu nak” kata mama.
Beberapa
sepupunya sudah siap berbenah memasukan berbagai hantaran ke dalam mobil dan
mereka siap menuju tempat yang selama setahun dijanjikan Romeo. Wajah sumringah
terlihat menghiasi keluarga Romeo.
“Yah,
Rani akan menikah” Rani memeluk ayahnya pilu.
“Iya
ayah tahu, ini memang saatnya nak. Ayah sangat bahagia”
Peluk haru
ayah anak ini menitikan air mata beberapa bude dan pak de yang melihat mereka.
Rani dengan balutan kebaya muslimah berwarna peach membuat wajahnya merona
merah. Lesung pipinya terlihat jelas.
“sekarang
hapus airmatanya dan bersiap menujua puncak hari yang selalu di nanti”
Ayah
Rani menghapus air mata anak satu-satunya itu. Di peluk erat Rani. Mengecup keningnya.
“Ayah
mencintaimu, Maharani”
***
Rombongan
pengantin pria sampai di depan rumah pengantin wanita. Iring-iringan pengantin
pria menambah syahdu. Gamelan cirri khas dari Yogyakarta menambah semarak hari
ini.
Gue
nervous, desis Romeo
Aku
terharu, pekik haru Rani.
Romeo
berjalan menuju tempat yang ditentukan. Dan acara akad nikah langsung dimulai.
Romeo mengucapkan lafal ijab qabul dengan lancar.
Sah!!!
Semua tangan
terangkat, lafalkan doa untuk kedua pengantin ini.
***
Romeo
mengingat kembali detail kejadian dalam mimpinya. Melihat gadis itu
dihadapannya. Menyentuh lembut pipinya. Senyum hangat dengan lesung pipi di
pipi kirinya merekah. Membius. Mempesona. Dan sekarang menjadi nyata. Jelas.
Tepat di tahun kedua sejak pertemuan mereka saat kembang api di tahun itu
merekah menjadi saksi pertemuan mereka.
Terima
kasih telah menerimaku menjadi suamimu, kata Romeo berbisik lembut.
De javu atau takdir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar